SUKU FLORES
Suku bangsa Flores adalah merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis sangat terasa dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Rumah Adat
Konsep rumah adat orang Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
Rumah adat atau sa'o ria sesungguhnya bukan sekadar tempat tinggal saja melainkan mempunyai makna filosofi yang teramat dalam. Rumah adat sa'o ria adalah tempat hidup dan berinteraksi komunitas masyarakat Lio karena hidup pada prinsipnya keseimbangan antar manusia dengan manusia, serta keseimbangan antar manusia dengan alam semesta, yang mana Sang Pencipta adalah equilirium hidup manusia. Rumah adat bukan sekedar tempat tinggal anggota keluarga saja, melainkan juga "berkumpulnya" nilai-nilai estetika, religi, norma dan budaya. Setiap detail rumah adat selalu mengandung filosofi dan cerminan perilaku arif suku Lio.
PakaianAdat Senjata Adat
Warga kampung Rada Ara di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa, menggelar ritus sumpah adat untuk mengutuk pelaku pencurian dua batang gading yang disimpan di rumah adat Sao Nggoa.
Salah seorang anggota rumah adat Husen Basa kepada pers menjelaskan, ritus sumpah adat tersebut untuk mengutuk pelaku yang mengambil gading, khususnya mereka yang masuk dalam anggota rumah adat tersebut."Jika di antara anggota suku ada yang mencuri gading tersebut, atau setidaknya mengetahaui atau berkerja sama dengan pihak lain untuk mengambilnya, maka dia akan mendapat kualat atau musibah,"
Perang adalah suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih gerombolan manusia yang sederajat melakukan sengketa senjata dengan berbagai siasat, teknik, strategi yang benar. Sejak berabad-abad silam, suku Lio mengenal kata perang dengan sebutan ‘Guta’. Guta, dalam bahasa Lio biasanya selalu disinonimkan dengan ‘Wika’. Definisi dari Wika adalah tindakan (De facto) untuk melakukan perluasan wilayah (Ekspansi) melalui perang (Guta) dan tentu saja diakui yuridiksinya oleh masyarakat itu sendiri.
Sebagai suku yang mempunyai populasi terbesar dipulau Flores, suku Lio, dapat dipastikan mencatat berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan perang (Guta).
Perang (Guta) dapat dikategorikan;
Pertama: Perang untuk mempertahankan wilayah teritorial atau diistilahkan ‘Pi singi rete ra’i’. Pi sing rete ra’i adalah sengketa senjata mempertahankan hak ulayat masing-masing pihak sesuai batas-batas yang mutlak. Contoh; Perang Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere melawan kolonial Belanda tahun 1907 Ditanah Lio, Perang watuapi tahun 1916 Ditanah Rea.
Kedua: Perang untuk melakukan ekspansi (Wika) adalah proses perluasan wilayah baru. Perang ini hanya bersifat internal masing-masing suku baik didalam persekutuan tana Lio sendiri maupun dengan suku-suku lain.
Menurut narasumber, sebelum melakukan sengeta senjata (Perang), masyarakat Lio umumnya selalu bermusyawara dan mempersiapkan berbagai hal penting sebelum turun kemedan perang. Persiapan-persiapan itu antara lain;
1. Pi singi rete ra’i; Perluh digaris bawahi juga, dalam perspektif umum masyarakat Lio, pi sing rete ra’i juga dapat didefinisikan sebagai bentuk penghinaan moral, martabat, yang berkaitan dengan kedaulatan suatu golongan (Clan) sehingga sewaktu-waktu perang dapat muncul tidak selalu berlandaskan pada sengketa wilayah teritorial. Dahulu, ketika terjadi penghinaan moral ataupun gangguan diwilayah perbatasan (biasanya ditandai dengan mase, tugu batu dll) dari pihak luar, orang Lio yang tinggal disalah satu persekutuan biasanya selalu bernegosiasi dengan pihak yang bersengketa melalui pemimpin adat yang ditunjuk sebagai juru bicara sekaligus mediator supaya dapat menemukan solusi terbaik atas semua persoalan yang muncul. Namun, jika proses mediasi dan negosiasi mengalami kebuntuan, bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi perang akan berkobar dan berkecamuk ditengah masyarakat. Olehnya, seluruh sesepuh adat antara kedua persekutuan yang berbeda pun berkumpul dimasing-masing pihak bermusyawara merencanakan proses selanjutnya.
2. Wari aro ana; Adalah kelanjutan menyikapi pi singi rete ra’i dengan mempersiapkan segala peralatan perang sekaligus merencanakan strategi secara matang yang akan digunakan dalam perang. Sama halnya dengan sengketa senjata internasional, pola penggunaan strategi perang yang dilancarkan suku Lio pun selalu berdasarkan kode etik berperang atau lebih trend dikenal adalah hukum perang. Dalam hukum adat Lio, hal ini patut dijunjung tinggi demi untuk menunjukan rasa hormat seorang pejuang kepada musuhnya, sehingga, kemenangan atau kekalahan yang diterima para pejuang tersebut layak diakui eksistensinya secara bijak.
3. So boka au; adalah proses pengukuhan sumpah oleh para prajurit yang akan bertempur dimedan laga. Hal ini tentu wajib dilakukan demi menjaga loyalitas prajurit agar benar-benar mendedikasikan diri untuk clan itu sendiri. Biasanya sumpah itu diselingi dengan ritual minum darah binatang kurban, atau memakan hati hewan kurban yang masih mentah. Proses ini harus dilewati oleh prajurit sehingga loyalitas prajurit itu tidak diragukan oleh pemimpinnya. Berkaitan dengan proses ini, prajurit juga harus melakukan pembersihan diri dengan membuat pengakuan atas dosa-dosa yang diperbuat. Tujuannya, supaya prajurit-prajurit itu, harus benar-benar suci sebelum berlaga demi keselamatan prajurit itu sendiri.
4. Peme Nipi; Setelah melalui beberapa tahap tadi, selanjutnya, Ata Nipi (Sang pemimpi) yang diyakini kemampuannya dipanggil untuk menentukan hari yang terbaik berdasarkan petunjuk/mimpinya sebelum pergi berperang. Selain itu, sang pemimpi juga dapat menentukan menurut penglihatannya figur-figur pejuang yang layak maju kemedan perang. Tidak dapat dipungkiri, proses semacam ini juga kerap dijumpai dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan kuno didunia. Dapat dikatakan, sebuah kemenangan itu tidak mutlak bertumpuh pada para prajurit saja melainkan juga melalui peran serta masyarakat lainnya kendati tidak ikut terlibat secara langsung dalam peperangan.
5. Ra nai no’o tangi-tangi; Adalah pernyataan sikap para keluarga para pejuang agar mengihklaskan anggota keluarganya untuk pergi berperang, sehingga jika prajurit kehilangan nyawa, keluarga wajib bertanggung jawab pada masing-masing pejuang. Artinya, tanggung jawab tidak perluh dibebankan kepada pemimpin adat.
6. To’o no’o telo, ko pare hago; Setiap masing-masing kerabat (berdasarkan wewa, ura aje dll) diwajibkan mempersiapkan dan menyuplai perbekalan bagi para pejuangnya selama masa peperangan. Hal ini dilakukan demi untuk menjaga pasokan bahan makanan supaya pejuang-pejuang tersebut tidak kelaparan selama bertempur.
Ketika dua atau tiga hari sebelum keberangkatan, para pejuang berkumpul di hanga untuk melakukan ritual gawi sia (Tari tandak), sementara panglima perang pergi ketempat-tempat persembahan sambil membawah beras. Diatas tempat persembahan itu, dia menaburkan beberapa butir Pu’u Pare Laka (Beras merah yang disakralkan) sambil berucap suasasa:
Ka ru’e sai wisu lulu, du’a bapu, - Makanlah wahai roh-roh di wisu lulu, leluhur
Heda hanga, Nitu pa’i - Roh-roh di heda hanga, dan arwah leluhur
Kami leja ina tebo tema, Lo moda - Hari ini kami bersatu padu dan utuh
Papa doga repa sala. - Hendaknya kami menjadi kebal, dan peluruh tak menembusi kami.
Ripi nidi, hoba lombu. - Hendaknya dedaunan menutupi kami.
We’e ogo ma’e goro - Semoga cabang dan ranting tidak menyeret kami.
Nga’a ma’e bheti - Pepohonan tak mengenai dan melukai kami.
Riwu neku ngasu - Perbanyaklah kami
Neku guta bo roa - Kami akan membawakan korban setelah ada letusan damai (perang)
Bu kuwi roe no’o are ate wawi - Kami akan menyajikan nasi dan hati babi
Mata pa’a kai, neka pa’a kai ! - Hendaknya musuh gugur dan terluka !
Menurut dogma yang dianut masyarakat suku Lio, ketika berperang, para pejuang harus mematuhi larangan-larangan (Hukum-hukum) yang ditetapkan adat yaitu:
1. Ma’e sisi leka biri - Jangan melewati jalur-jalur yang curam (Maksudnya tidak berlaku curang)
2. Ma’e leta leka fata - Jangan menjejahkan kaki pada batang pohon yang mati (Maksudnya, jangan melintasi atau menginjak korban yang sudah tak bernyawa)
3. Ma’e lima repa - Jangan merampas/menjarah (Mencuri) barang sekecil apapun dari pihak musuh.
4. Ma’e iju buli, k/hinga ndara - Jangan tergiur dengan kaum wanita ketika
5. perang berkecamuk.
Larangan-larangan ini dimaksudkan bahwa para pejuang tersebut benar-benar menunjukan rasa hormat dan jiwa patriotnya kepada musuhnya supaya terhindar dari ancaman yang bersifat mistik atau yang sebut karma.
Setelah semua terpenuhi, barulah para pejuang tadi berangkat kemedan perang dan berperang dengan pihak yang bersengketa. Seperti yang sudah diketahui, peperangan selalu menyisahkan pengorbanan baik kalah maupun menang. Kalah dalam berperang bagi masyarakat suku Lio merupakan konsekuensi dari kegagalan mereka dalam mengelolah strategi, taktik dan teknik bertempur. Sedangkan jika menang, merupakan kesuksesan besar yang masuk dalam daftar sejarah perjuangan. Biasanya, ketika meraih kemenangan, masyarakat suku Lio selalu menetapkan tapal batas baru sesuai dengan wilayah yang direbut.
Penetapan tapal batas itu lakukan dengan prosesi ‘Ritual Mopo’. Mopo merupakan salah satu ritual paling sakral dalam tatanan adat Lio. Simbol-simbol Mopo itu ditandai dengan sesajen berupa darah ayam, telur ayam dan kepala kerbau (Holo kamba) pada tugu batu (mase) batas wilayah. Sesudah melepaskan sesajen tersebut pada tugu batu, ketua adat atau pemimpin perang mengucapkan ’suasasa pai Nitu’ (Ungkapan permohonan pada roh-roh) dimaksudkan untuk memanggil roh-roh yang bersemayam di batu, air, bukit, pohon, tugu batu dilaut dan lain-lain supaya berkumpul serta menyantap sesajen yang dipersembahkan. Hal ini dilakukan tentu dengan pengharapan untuk melindungi diri agar terhindar dari bahaya dan godaan serta dianugerahi rejeki yang melimpah di tanah (tempat tinggal) yang sejuk dan nyaman.
7. Gare godo, tana mi watu ndena ini adalah tahapan terakhir dari semua rangkaian diatas. Disini dibicarakan proses pembagian wilayah-wilayah yang berhasil direbut kepada para pejuang yang masih hidup maupun sudah mati dimedan perang oleh para pemimpin clan. Bagi mereka yang gugur dimedan perang, dibagi berdasarkan jumlah korban sekaligus diperhitungkan dengan jumlah materiil yang dikeluarkan pihak keluarga selama masa peperangan. Harta yang dibagi berupa tanah itu dinamakan ‘Toko tuka’. Untuk mengenang jejak-jejak para pejuang disematkan pula sebuah simbol ‘bagi boge’ yang masih dapat ditemui hingga kini di wilayah Lio seperti pada ritual ‘Wake Laki’, atau ritual-ritual lainnya.
Tampaknya kini ritual perang hampir tidak dapat ditemui lagi karena peperangan sudah tidak lagi berkobar seiring dengan penyatuan wilayah-wilayah di Nusantara yang ditandai dengan detik-detik kemerdekaan Indonesia yang mengubah cara pandang masyarakat. Kendati demikian, selayaknya ini harus dipelajari dan dipertahankan supaya dapat menjadi warisan leluhur yang sangat bernilai. Sungguh tradisi ini mengandung nilai historis yang sangat rapih dikemas melalui pemikiran-pemikiran luar biasa bijaksana. Sebagai generasi yang baik dan mencintai kearifan leluhur, sepatutnya mewajibkan diri melestarikan tradisi unik ini, agar tidak punah seiring dengan berjalan nya waktu yang semakin meningkatnya dunia modern. Budaya adalah ciri khas berbagai keanekaragaman sebagai cerminan jati diri masyarakat lokal itu sendiri.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada 4
lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen- klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring- glarang, pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang- orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak ada lagi.
UPACARA ADAT
Upacara adat yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur sangatlah beragam dimana masing-masing suku memiliki caranya masing-masing, upacara adat tersebut terdiri dari upacara perkawinan, upacara menyambut datangnya panen, upacara pemanggilan hujan dan lain-lain.
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar si ibu tetap sehat dan tidak dianggap roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan (mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi.
2. Upacara Menjelang dewasa
Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki dan potong gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngll. Koa Ngll merupakan upacara potong gigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun rumah tangga.
3. Upacara Perkawinan
Berikut ini beberapa upacara adat perkawinan dari beberapa daerah antara lain :
a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur
Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh
b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang
disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya 6
c) Perkawinan Adat Masyarakat Ngada
Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa, dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan tanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu satu putri tunggal.
Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi weti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya membawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada saat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya lamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku mebhu tana tigi, idi tua manu.
d) Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1. Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang telah membesarkannya.
2. Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.
3. Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak perempuan dari om
- 4Perkawianan tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak
- berdasarkan hu bungan dara.
- Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.
Upacara Kematian
Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari dunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita. Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur. Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran. Upacara waktu penguburan, tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur. Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran dengan membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
5. Upacara Pembangunan Rumah
Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari sebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara Maalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama. Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atau tidaknya pembangunan rumah diteruskan.
Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak. Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".
6. Upacara Penutupan Bulan Maria
Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yang dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja. Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, seperti Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagai simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesi seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.
Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatan terakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiap Oktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria oleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut memang dikhususkan untuk menghormati Maria.
7. Upacara Adat di Sampar
Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atas selesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba- laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, di mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan dengan
menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.
Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan sekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengena karena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek. Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampil ke gelanggang.
8. Upacara Iyegerek
Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih sperm sebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlah warga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak buah kapal), dan pemilik perahu. Perjalanan dilanjutkan ke laut. Empat orang bermahkota daun turi menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu mentas dari laut.
Setelah upacara iyegerek, mereka menggelar misa arwah pada sore harinya. Selama perayaan misa arwah, nelayan pantang melaut. Setelah serangkaian acara, misa ditutup dengan doa khusus untuk arwah. Masyarakat Lamalera percaya, jika jenazah mereka yang hilang tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
9. Takung
Takung (persembahan), yakni upacara persembahan hewan kurban bagi penunggu tanah agar memperlihatkan arwah para korban. Selain itu meminta kepada arwah korban untuk memperlihatkan dirinya agar mereka bisa dikuburkan sesuai adat. Upacara adapt ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing
10. Upacara Giit Mendong
Inti upacara adat yang sering dilaksanakan dalam setiap perayaan kemasyarakatan di Kabupaten Sikka ini, yakni meminta kehadiran arwah nenek moyang masyarakat Sikka untuk merestui setiap perayaan yang dilakukan.
11. Tradisi Megalitik di Flores
Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarah dan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para etnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dari ujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.
Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan Dirjen Dikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan.
Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen11 -monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.
Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahan logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.
12. Nyale
Masyarakat Wanukaka yang menyelenggarakan nyale ini di awal bulan Maret, telah melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di rumah masing-masing, malam sebelum nyale.
Potong ayam dan membuat ketupat, salah satu ritual yang wajib dilaksanakan masyarakat Wanukaka. Seperti juga di salah satu rumah warga Kampung Ubu Bewi ini. Sebab ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola. Sebagai pertanda, untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.
Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak, ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.
Ketika malam semakin larut, para rato dari Suku Ubu Bewi, yang bertugas mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian kebesaran rato. Atau dalam bahasa Wanukaka disebut rowa rato, untuk berdoa diatas batu kubur, menghadap ke arah bulan purnama. Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh, memulai perburuannya. Ternyata menangkap nyale tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu susah-susah mencarinya hingga ke bagian laut yang agak dalam. Cukup di tepi saja, kita sudah dapat menemukan sekumpulan nyale.
Sesungguhnya nyale merupakan acara inti, dari serangkaian upacara adat yang dilakukan masyarakat pada bulan Pasola. Kehadiran nyale, harus dirayakan dalam bentuk perayaan, yakni atraksi Pasola. Bagi masyarakat agraris seperti di Wanukaka ini, kedatangan nyale juga punya kaitan erat, dengan hasil panen di daerah mereka. Semakin banyak nyale yang muncul, kian besar juga kemungkinan hasil panen akan berjalan baik.
Asal usul adanya nyale dan Pasola bermula dari cerita rakyat Waiwuang. Konon, ribuan tahun silam hiduplah tiga orang bersaudara dari Desa Waiwuang. Mereka pergi melaut selama berbulan-bulan. Karena tak kunjung pulang, salah satu istri mereka menikah dengan pria lain. Ternyata ketiga pria itu kembali dan menemui kenyataan, istri dari salah satu pria itu menikah dengan orang lain. Mereka sempat merasa dipermalukan, namun toh akhirnya selesai secara damai. Dengan sejumlah persyaratan antara lain sang istri dan suami barunya, harus menyediakan satu bungkus nyale hidup.
Atas dasar hikayat ini, tiap tahun warga mengadakan bulan nyale yang diakhiri pesta Pasola. Lucunya, tidak semua warga tahu mengapa ada nyale. Terutama generasi mudanya. Bagi mereka, ini adalah saatnya bersenang-senang. Sebuah selingan dari rutinitas sehari-hari.
Setelah nyale menghilang dari pantai, perburuan pun usai. Para pria berkuda berdatangan ke pantai. Mereka akan melakukan Pasola. Ini bukanlah Pasola inti. Hanya berlangsung tak lebih dari 2 jam, Pasola ini semacam pemanasan menuju ke atraksi yang sesungguhnya. Pasola di lapangan nan luas.
13. Pasola
Pasola berasal dari kata `sola' atau `hola', yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.
14. Etu
Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngadha merupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta. Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga hari sebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju.
15. Toalako
Toalako merupakan kegiatan yang diadakan pada musim panas mengatraksikan kemampuan binatang peliharaan yaitu kuda dan anjing serta peralatan berburu (misalnya tombak / tuba dan bhou) dalam menangkap binatang buruan yaitu : rusa dan babi hutan (celeng). Hasil tangkapan ini disantap secara bersama di lokasi (loka) yang telah disediakan oleh masing-masing suku.
tidak ada sumbernya. sementara ada kutipan di atas hasil karya org yg di copy paste tp tdk disertakan dgn penulisnya
BalasHapus